Bupati Lutra Semestinya Non Aktif jadi Bupati

Oleh : Nurhan Tabau

MASAMBA, Kapitanews.com – Demokratisasi akan berhasil jika proses demonopolisasi terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan monopolistik lama mampu dihilangkan.

banner 336x280

Kalimat tersebut disampaikan politisi sekaligus pengusaha asal Tana Luwu, Nurhan Tabau, kepada redaksi Kapitanews.com, Sabtu, (19/10/2024), sekira pukul 03.10 dini hari.

“Tulisan ini saya awali dengan kalimat yang ditekankan oleh Hee Yeon Cho dalam hasil penelitiannya terkait perkembangan demokrasi di Asia. Saya akan membawa situasi ini dalam konteks yang skalanya lebih kecil, yaitu pilkada di Luwu Utara, mengingat situasi pilkada di Luwu Utara cukup berbeda dengan banyak kabupaten lain yang secara bersamaan sedang melakukan proses pergantian kepemimpinan,” ujarnya.

Apa yang yang berbeda di Luwu Utara, dengan beberapa kabupaten lain? Di Luwu Utara, Bupati yang sedang menjabat, suaminya menjadi salah satu calon Bupati. Tentu hal ini menarik menjadi bahan amatan bagi para pemerhati perkembangan demokrasi di Indonesia.

Bagaimana demokrasi yang kita pilih sebagai jalan kedaulatan masyarakat bisa memberikan rasa kesetaraan jika dalam waktu yang bersamaan pengendali kebijakan tertinggi adalah istri dari salah satu calon Bupati?

“Bagaimana dalam waktu yang bersamaan seorang calon Bupati tinggal satu rumah dengan Bupati yang sedang menjabat? Dan bagaimana pula independensi ASN dan perangkat kerja pemerintah daerah bisa terjamin bagi calon lain dalam proses pilkada yang sedang berlangsung?

Ada dua jenis rezim yang mengalami proses demokratisasi di Indonesia. Rezim ini dibedakan kedalam dua kategori, pertama adalah neo-oligarki, yaitu kekuatan-kekuatan monopolistik lama yang masih bertahan dalam status monopolistik dan terus mempertahankan kekuasaannya melalui orang terdekatnya.

“Kedua, demokrasi pasca oligarki, yaitu mereka yang mengalami pelemahan di tengah kompetisi kelompok monopolistik konservatif dengan kelompok liberal anti monopolistik. Untuk Luwu Utara, situasinya lebih mirip pada jenis rezim yang pertama,” sebutnya.

Sebagai kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Luwu, Luwu Utara seharusnya bisa mengalami loncatan-loncatan dan kemajuan-kemajuan yang berarti, tapi faktanya tidak demikian saat ini.

Di Banyak tempat beberapa kecamatan terendam banjir menahun, kemerosotan infrastrukturnya cukup membandingkannya dengan kabupaten tetangga yang sangat terlihat perbedaannya. Dari banyak kemerosotan ini, jika semangat demokrasi adalah kesetaraan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran, maka kabupaten ini masih jauh dari semangat demokrasi ekonomi sebagai konsekuensi dari demokrasi politik jika berjalan dengan baik.

Desentralisasi pengelolaan sumberdaya daerah tidak selamanya memberi dampak positif, tapi juga dampak negatif ditangan pemimpin yang tidak memahami dengan baik, salah satu konsekuensinya adalah terbentuknya rezim akumulasi, baik tata kelola pemerintahan maupun akses atau kontrol terhadap sumberdaya ekonomi.

Dampak negatif ini jika terjadi dalam waktu yang panjang, akan menimbulkan konflik yang hebat pada suatu saat, situasi ini bisa terjadi di Luwu Utara jika terjadi pembiaran terhadap bentuk-bentuk monopoli kekuasaan yang tercermin dengan kelalaian pemimpinnya untuk lebih bijaksana menempatkan diri dalam pemaknaan jalannya demokrasi yang substantif.

Dari penggambaran di atas, sebaiknya Bupati Luwu Utara agar tidak menjadi bagian dari kemunduran berdemokrasi di Luwu Utara, dan agar bisa menjadi contoh yang baik bagi pemimpin-pemimpin lain yang juga punya konflik kepentingan dengan para calon pemimpin daerah dimana ia menjabat, memilih non aktif sementara sebagai bupati sampai proses pilkada selesai semestinya menjadi pilihan yang bijaksana.

Baca juga berita di Google News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *